PUBLIKASI NASIONAL || Tanjung Enim
– Konflik lahan antara masyarakat Desa Keban Agung, Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, dengan PT Bumi Sawindo Permai (BSP), anak perusahaan PT Bukit Asam (PTBA), masih belum menemui titik terang setelah hampir lima tahun. Puluhan pemilik lahan yang tanahnya telah digusur untuk kepentingan tambang hingga saat ini belum menerima ganti rugi atau ganti untung, memicu kekesalan yang mendalam di tengah masyarakat. 6/10/25

Ketegangan kembali memuncak dalam acara sosialisasi yang digelar oleh PTBA melalui program CSR-nya bersama PT BSP di Hotel Saka, Tanjung Enim, pada Minggu (5/10/2025). Alih-alih menjadi ajang penyampaian informasi, pertemuan tersebut justru berubah menjadi ruang tuntutan keadilan bagi warga yang merasa hak-haknya ditelantarkan.
“Kami datang ke sini bukan hanya untuk mendengarkan opini mereka, kami hanya mempertanyakan lahan kami yang digusur PT. BSP atau perusahaan PTBA, tanpa adanya ganti rugi atau ganti untung,” ujar salah seorang perwakilan masyarakat dengan suara lantang, menyalurkan rasa kesal terhadap janji-janji manis perusahaan yang kerap mengulur waktu.
Warga menyatakan, mereka sempat dijanjikan ganti rugi sebesar Rp 15 juta per kapling, namun janji itu kini hilang tanpa kejelasan. “Kami berharap ini cepat selesai karena lima tahun bukan waktu yang sebentar. Bahkan, pemilik lahan sudah ada yang meninggal,” tambahnya, mendesak perusahaan untuk segera mengakhiri drama yang berlarut-larut ini.
Menanggapi tuntutan warga, pihak perusahaan yang diwakili oleh Listati dari tim Sustainability atau CSR PTBA menjelaskan bahwa kendala utama terletak pada aspek hukum. Listati mengklaim bahwa perusahaan telah berkonsultasi dengan Kejaksaan Tinggi dan BPKP, dan hasil konsultasi menyimpulkan bahwa PTBA tidak dapat mengeluarkan dana pembayaran ganti rugi.
“Perusahaan BUMN untuk mengeluarkan sesuatu harus mengacu pada bukti. Bukti itu tidak cukup, jadi kami tidak bisa mengeksekusi apa yang sudah menjadi kesepakatan,” jelas Listati. Ia menekankan bahwa sebagai BUMN, setiap pengeluaran uang, bahkan satu rupiah, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar yang kuat.
Pihak PT BSP juga menyampaikan bahwa berbagai upaya telah dilakukan sesuai arahan dan pendampingan tim kecamatan, namun saat ini memang menghadapi kendala legalitas. Meski demikian, mereka menyatakan komitmen untuk terus berupaya menyelesaikan permasalahan ini dengan baik.
Hingga sosialisasi usai, permasalahan lahan ini masih belum menemui jalan keluar. Warga menyatakan kesiapannya untuk terus menunggu informasi lebih lanjut dari PTBA. Namun, mereka juga mengancam akan melakukan aksi damai secara besar-besaran jika masalah ini terus berlarut-larut.
“Jika permasalahan ini masih terus berlarut-larut, maka masyarakat pun akan melakukan aksi damai kembali, bahkan mungkin akan melapor ke presiden langsung,” ungkap seorang warga, mencerminkan tekad mereka untuk memperjuangkan hak-hak yang merasa diabaikan.
Dengan demikian, ribuan hektar lahan dan nasib puluhan keluarga di Lawang Kidul masih menggantung, menunggu komitmen nyata dari perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang telah memakan waktu bertahun-tahun ini.(Her)




